KIM MYUNGSOO FANFICTION

[Chapter – PART 12] Marriage Not Dating

marriagenodating

B2utyInspirit presents

.

REMAKE OF DRAMA WITH THE SAME TITLE

.

 Marriage Not Dating

.

| Marriage Not Dating – Go Back |

| Kim Liah |

|Chaptered |

| Kim Myungsoo, Park Jiyeon |

| Choi Minho, Jung Soojung, Hwang Kwanghee, Hye Jeong |

| Romance, Married Life, Friendship |

| PG-18 |

|Warning: This story purely comes from my mind. No plagiarism. Be carefull of typo(s) |

.

.

.

 RCL PLEASE

.

.

“Jung Soojung!!” emosi Myungsoo benar-benar tak mampu dibendung lagi, bagaimana bisa mantan kekasihnya ini seenaknya menentukan jalan hidupnya dengan cara membuatnya semakin menjauh dari Jiyeon.

“Mari kita menikah!” ini kali kedua Myungsoo membentaknya, pertama dulu waktu ia seenaknya merenovasi apartment Myungsoo dan sekarang karna ulahnya yang semaunya sendiri “Kenapa kau tak katakan alasanmu menyendiri padaku hingga kau tak mau menikah? Aku tidak tahu kau punya luka sedalam itu. Aku selalu penasaran kenapa kita tidak bisa bersama” suara Soojung mulai terdengar serak.

“Bukankah kau juga berpikir pernikahan itu berat?” Myungsoo menghela nafas “Kau juga bilang kalau pernikahan itu tak penting” dulu ia memang ingin menjalani sebuah pernikahan dengan Soojung, namun karna keinginan itu hanya keinginan sepihaknya maka ia berakhir mengikuti jejak Soojung.

“Itu cara terbaik agar kau tak malu karna aku ingin tetap berada disisimu meski hanya sebagai teman” Soojung mendekat ke arah Myungsoo “Kali ini aku akan mendengarkanmu dan tak akan semauku sendiri dan akan menghiburmu” ia melompat ke lingkaran berbentuk love itu “Menikahlah denganku ne?” suaranya seperti mengemis cinta pada Myungsoo.

Myungsoo tertawa kecil “Lucu sekali, bagaimana hal seperti ini terjadi diantara kita?”

“Mwo?”

“Jarak diantara kita memanglah seharusnya ada, agar kita tidak perlu mengetahui kejelekan satu sama lain”

“Myungsoo-ya, aku merendahkan diriku karnamu. Aku sudah sejauh ini dan kau…” seorang Jung Soojung memang tak pantas melakukan hal yang bisa dibilang mengemis cinta seperti ini

“Untuk apa? Kau sudah memiliki semuanya. Apa lagi yang kau inginkan hah?”

“Aku juga manusia yang memiliki perasaan” Soojung paling benci kalau Myungsoo membicarakan statusnya yang memang seakan menggenggam dunia.

“Hanya karna keegoisanmu itu kau sampai berbuat seenaknya kepada orang lain hah?”

“Kau kira apa alasanku mengatakannya pada ibumu? Aku sudah melakukan semuanya untukmu tapi yang kau pikirkan hanya Jiyeon saja? Jadi apa yang harus kulakukan sekarang hah?” air mata Soojung mulai nampak dipelupuk matanya.

Myungsoo menghela nafas “Tinggalkan aku!” kalimat ini langsung membuat Soojung berbalik, tubuhnya bergetar, ia tak menyangka Myungsoo masih menolaknya.

.

Minho berbalik melirik Minyoung yang sedari tadi mengamati mereka. Sungguh Minyoung tak menyangka nasib anak semata wayangnya tak ubahlah seperti dirinya. Tidak, Myungsoo tak pantas menahan penderitaan karna diduakan seperti dirinya. Ia akan mengakhiri awal yang buruk ini secepat mungkin.

“Eommonim” Jiyeon berteriak sekencang apapun namun Minyoung tak menggubrisnya, ibu mertuanya itu semakin berjalan menjauh “Kenapa kau sengaja melakukannya?” mata Jiyeon nampak berkaca-kaca, ia tak menyangka hubungannya dengan Minho segera diketahui oleh Minyoung.

“Karna aku menyukaimu” jawab Minho tegas.

Jiyeon berjalan menjauh meninggalkan Minho dan sepedanya hingga ponselnya berdering. “Mianhae aku sudah menghancurkan semuanya” sesalnya.

“Mwo?”

“Ibumu mengetahui semuanya karna aku”

“Itu bukan salahmu. Kau dimana sekarang ayo kita bicara” desak Myungsoo.

“Mianhae, aku tak bisa menemuimu sekarang” tolak Jiyeon seraya menutup telponnya. Ia mampir ke kedai ayahnya, disana Jisung nampak sedang menggoreng fried chicken “Aku pulang, appa” ia tak akan bisa lagi melihat kebahagiaan diwajah kedua orangtuanya. Sandiwaranya sudah berakhir dan ia yakin kali ini tak akan ada ampunan untuknya baik dari keluarganya maupun keluarga Kim.

“Eoh, kenapa kau kemari?” Jisung meniriskan gorengannya.

“Aku ingin mengatakan semuanya, dimana eomma sekarang?”

“Dia di rumah mertuamu untuk memberikan selimut sebagai hadiah pernikahanmu nanti” jawab Jisung.

Kenapa hal ini bisa terjadi? Ibunya pasti akan dipermalukan disana dan dia juga akan terluka karna mendengar kebenarannya dari orang lain. Dengan segera Jiyeon menuju rumah Myungsoo, ia tak mau jika Taehee mengetahui segalanya bukan dari bibirnya.

Sesudah kepergian Jiyeon, mobil Myungsoo berhenti didepan kedai Jisung. Ia nampak celingukan mencari Jiyeon dikedai itu.

“Kau disini? Kenapa kalian tak pulang bersama?” tanya Jisung.

“Igeo… Jiyeon dimana abeoji?”

“Dia baru saja pergi, apa kalian bertengkar?” Jisung menepuk bahu Myungsoo “Kau harus mengalah padanya. Kenapa kalian bertengkar disaat akan segera menikah? Ibunya baru saja mengantarkan hadiah ke rumahmu”

Sama halnya dengan Jiyeon, kekhawatiran akan hal buruk yang dilakukan ibunya menghantui pikirannya “Rumahku? Saya pamit dulu abeoji” Myungsoo segera mengendarai mobilnya, ia tak mau jika terjadi hal yang tak diinginkan dirumahnya

.

Minyoung mengingat kejadian tadi dikamarnya hingga bibi Han memanggilnya “Eonnie, apa kau tak akan keluar? Besan kita menunggumu disana” ujarnya.

Dikamar tamu Taehee nampak takjub dengan cangkir teh yang dipakainya sekarang “Seleranya berkelas sekali. Dimana dia membeli semua ini?” ia menunjuk guci disebelahnya “Besan” sapanya begitu Minyoung keluar dari kamarnya yang tepat disamping kamar tamu.

Minyoung menatap sekotak lipatan besar bingkisan yang dibawa oleh Taehee “Dia membawa selimut katun untukmu” jelas bibi Han.

“Ini katun terbaik” jelas Taehee.

“Aku turut menyesal untukmu juga” lirih Minyoung.

“Ne?”

“Semuanya hanya mimpi” lanjut Minyoung.

“Minyoung-a…” seru nenek Kim.

“Eomma” Jiyeon baru saja sampai dan beruntungnya hal buruk belum terjadi.

“Jiyeon-a” panggil Taehee senang.

“Beraninya kau kembali kemari” cibir Minyoung.

“Besan, kenapa anda… apa anak saya melakukan kesalahan pada anda?” tanya Taehee.

“Kau katakan sendiri atau aku yang harus menceritakannya padanya?” tanya Minyoung pada Jiyeon.

“Josonghamnida, saya akan membawa eomma pulang” Jiyeon merengkuh bahu Taehee.

“Chakkaman..aku tak tahu apa yang sudah anakku lakukan. Tapi ini terlalu kejam, baginikah caramu berbicara?” Taehee menghempas rengkuhan tangan Jiyeon dibahunya.

“Aku akan mengatakannya diluar eomma, kajja” Jiyeon berharap kali ini ibunya tidak keras kepala dan segera keluar dari rumah keluarga Kim.

“Bagaimana bisa mereka membatalkan semuanya ketika tanggalnya sudah ditentukan” bentak Taehee.

“Eomma, kajja” Jiyeon tak ingin Taehee semakin dikecewakan.

“Tak akan kubiarkan pernikahannya terjadi” jawab Minyoung.

“Kenapa tiba-tiba kau berubah pikiran lagi?” Taehee tak habis pikir dengan cara pemikiran Minyoung.

“Putraku dan putrimu sama sekali tak ingin menikah. Putraku hanya bersandiwara dengan Jiyeon untuk bebas dari pernikahan yang kutentukan”

“Ye?” ulang Taehee, kebohongan apa lagi yang Minyoung lakukan untuk membatalkan pernikahan Jiyeon dengan Myungsoo?

“Bukankah kau sudah membuktikan cinta mereka, eonnie?” tanya bibi Han.

Nenek Kim hanya terdiam karna ia sudah mengetahui semuanya.

“Kita semua sudah dibodohi oleh mereka” jawab Minyoung.

“Maldo andwae, kau pasti berbohong. Untuk apa menantu Kim melakukan itu?” ia melirik Jiyeon “Katakan padanya bahwa ini tidak benar” titah Taehee tak percaya.

Jiyeon berlutut menjawab semuanya “Maafkan aku” sesalnya dengan wajah berlumuran air mata.

“Kau…” ulang Taehee, jadi putrinya sungguh membohonginya? Jadi semuanya itu hanya sebatas sandiwara semata?.

Nenek Kim bangkit dari duduknya dan menghampiri Jiyeon “Mereka mungkin memulainya dengan sandiwara tapi siapa yang tahu kalau mereka sudah serius?” jelasnya.

“Kau sudah mengetahuinya, eommonim?” tanya Minyoung.

“Ini hanya pemikiranku…” elak nenek Kim.

“Apa kau senang menipuku begini eommonim?” lirih Minyoung, ia benar-benar kecewa dengan kebohongan ini.

“Park Jiyeon, kenapa kau melakukan semua ini hah?” bentak Taehee.

“Minyoung-a, kau sudah tahu semua tentang mereka bukan dari pengintaianmu? Bagaimana Jiyeon memperlakukanmu..” saran nenek Kim.

“Apa kau masih tetap memintaku untuk menerima Jiyeon sebagai menantuku ketika dia menggandeng pria lain didepanku?” sontak semua terkaget dengan perkataan Minyoung.

“Apa benar kau memiliki pria lain?” Taehee terduduk dilantai.

“Kau pasti hanya salah paham, bukan begitu Jiyeon-a?” bela nenek Kim.

“Mianhae, jeongmal mianhae” lirih Jiyeon, air mata sudah berjatuhan dilantai.

“Tidak mungkin” tolak nenek Kim.

“Ireona, kajja” Taehee menarik Jiyeon berdiri, ia merasa putrinya sudah teramat mempermalukannya.

“Bisahkah kau bawa selimut ini juga?” pinta Minyoung.

Karna masih shock Taehee sampai tak kuat mengangkat selimut besar itu “Eomma, aku saja yang membawanya” lirih Jiyeon seraya mengekor dibelakang Taehee.

Dihalaman rumahnya Myungsoo menghentikan mobilnya “Eommonim”

“Jangan panggil aku eommonim” Taehee melempar selimut itu ke dada Myungsoo “Jangan dekati Jiyeon lagi!” gertaknya lalu berlari menjauh.

“Semuanya sudah berakhir” ujar Jiyeon lalu mengejar Taehee.

.

“Eomma… apa yang kau lakukan pada ibunya Jiyeon?”

“Geumanhe, ibumu sedang marah” larang bibi Han.

“Apa kau sedang berakting juga sekarang?” tanya Minyoung dingin.

“Eomma… aku sungguh menyukai Jiyeon”

“Park Jiyeon, dia sungguh hebat, apa dia juga membodohimu?” sindir Minyoung.

“Ye?” Myungsoo melirik bibi Han untuk memberitahu apa yang dimaksud Minyoung.

“Namja” lirih bibi Han.

“Apa kau melihatnya bersama Minho?”

“Kecurigaanku tak pernah salah” puji Minyoung.

“Dia hanya…” mana mungkin Myungsoo menjelaskan semuanya “Siapa yang peduli? Disini bahkan ada pria yang menghabiskan hidupnya dengan dua wanita” jika ayahnya saja bisa kenapa ia tak bisa?

Minyoung menampar Myungsoo “Sudah kubilang jangan mengusiknya” tegur bibi Han.

“Keluar! Jangan menikah, hiduplah sendirian selamanya! Keluar sekarang!” bentak Minyoung.

.

“Kenapa semuanya begini? Aku sudah menerima menantu Kim, si brengsek itu, dia minum semua soju yang kutuang dan bertingkah seperti menantu yang baik. Bahkan dia meminjam bajuku juga. Dia juga tidur dikamar putriku…dimana dia sekarang? Bawa dia kemari!” bentak Jisung, sementara itu Taehee yang kelewat kecewa hanya mampu mengurung diri dikamar.

Myungsoo berdiri didepan rumah Jiyeon dan menelpon Jiyeon namun sayang sekali Jisung merampas ponsel itu dari tangan Jiyeon “Beraninya kau kemari? Aku akan keluar dan menghajarmu” Jisung melempar ponsel Jiyeon lalu mengambil tongkat baseball disampingnya.

“Appa, geumanhe” cegah Jiyeon

“Lepaskan”

“Ini semua bukan salahnya appa. Aku yang memintanya untuk melanjutkan semuanya sampai sejauh ini”

“Mwo? Bagaimana bisa kau menuruti kemauannya? Apa dia memberimu uang?”

Jiyeon memeluk punggung Jisung “Kau dan eomma sangat menyukainya, jadi aku tidak bisa mengatakan yang sebenarnya”

Jisung menghempas pelukan Jiyeon “Apa kau kira kau bisa membohongi kami selamanya?”

“Aku ingin selamanya seperti ini. Kalian berdua tidak pernah berbicara satu sama lain, tapi begitu ada dia kalian berbicara dengan sangat gembira, kalian bahkan tertawa bersama. Ini pertama kalinya aku melihat kalian seperti ini” alasan Jiyeon mempertahankan Myungsoo, karna kedua orangtuanya sangat menyukai Myungsoo.

Jisung menjatuhkan tongkatnya dan memeluk Jiyeon yang semakin menangis tersedu-sedu. Begitu pula Taehee, ia hanya mampu menangis sendirian dikamarnya.

.
“Apa kau ingin melihat bayinya?” Kwanghee berbalik “Arraseo, kau tunggu saja disini” Hyejeong memasuki ruangan dokter untuk melakukan aborsi seperti yang Kwanghee minta, ia sangat kecewa karna Kwanghee sepertinya memang tak menginginkan bayinya.

Kwanghee duduk diruang tunggu dan mengamati gambar sebuah bakal bayi. Ia duduk dengan gelisah antara harus berdiam disana menemani Hyejeong atau mencampakkan Hyejeong.

Hyejeong menghela nafas lalu berbaring di ranjang pasien. Dokter kandungan itu menempelkan probe USG ke perut Hyejeong lalu memutarnya hingga terdeteksi gambar janin dan mulai terdengar sebuah suara mirip seperti perut keroncongan.

“Ini detak jantung bayinya” sang dokter masih memutar probe di perut Hyejeong.

“Ini… detak jantung bayi kami?” Hyejeong tak pernah menyangka bahwa melalui USG ini ia mampu mendengar detak jantung calon bayinya.

“Ya”

“Aku akan gila” diluar ruang USG, Kwanghee nampak semakin gelisah. Ia bingung dengan keputusan yang harus diambilnya, namun akhirnya ia memutuskan beranjak pergi dari klinik itu.

“Bisa kau keraskan sedikit?”

Kwanghee yang hendak pergi tertahan oleh suara aneh yang berasal dari ruang USG. Ia tempelkan telinga ke pintu ruang USG lalu membukanya untuk mengintip Hyejeong.

Semburat kesedihan nampak dari cara bicara Hyejeong “Kau benar-benar ada. Maafkan Ibu, Myungpoomie. Ibu sungguh minta maaf..Ibumu jahat padamu” sesalnya seraya mengelus perutnya.

“Ayo pergi” Kwanghee tiba-tiba menyelonong masuk dan menarik tangan Hyejeong, ia diluar juga mendengar detak jantung calon bayinya itu tadi.

“Oppa. Lepaskan!” kini mereka sudah berada diluar ruang dokter kandungan.

“Apa yang kau lupa dengan ucapanmu di kuil? Kau bilang itu hadiah dari surga untukmu. Kau bilang kau ingin manjaganya. Kenapa kau menyerah begitu saja?” dalam pikiran Kwanghee, Hyejeong tengah berusaha memutuskan tali kehidupan calon bayi yang merupakan buah cinta mereka itu.

Hyejeong tersenyum tipis “Aku tidak pernah berencana ingin aborsi” nampak wajah penuh kemenangandi wajah cantiknya.

“Apa?”

“Aku dengar hati pecundang sepertimu jika mendengar jantung bayi maka akan luluh juga” Hyejeong memang berencana menarik simpati Kwanghee agar pria pencundang itu tak goyah lagi dan teguh pendiriannya untuk menikahinya.

“Apa?” pecundang? Hyejeong-nya yang baik hati dan lemah lembut mengatakan kata kasar seperti itu? “Hyejeong. Kau sungguh Hyejeong, kan?” sungguh ini tak bisa ia percaya.

“Aku akan jujur ​​padamu” Hyejeong melepas tangan Kwanghee dari kedua bahunya “Maaf, tapi inilah diriku yang sebenarnya. Akulah gadis yang membuat kebohongan untuk meluluhkan hatimu. Kau bisa menerimanya atau tidak, semua ini juga untukmu, Oppa” Kwanghee nampak berpikir membenarkan sikap Hyejeong padanya “Kau harus tahu bahwa aku akan tetap melakukan dosa ini, walau kita bisa memutar waktu” tak ada perasaan bersalah ketika mengucapkan kata-kata yang mengokohkannya sebagai wanita jahat “Jika, kita kembali lagi ke malam itu..Aku akan tetap memilihmu”

.

Tiffany menarik Kwanghee menuruni tangga beranda rumahnya lalu mengunci pintu gerbang dengan membiarkan putra semata wayangnya hanya mengenakan selembarcelana boxer lalu mengemis memanggilnya sambil menunjukkan foto janin yang kemarin ia peroleh dari dokter kandungan.

“Tunggu! Kumohon!” Kwanghee berusaha melepas dorongan dikedua lengannya agar ia tak jadi terusir dari rumah mewahnya “Ibu, Ibu! Lihatlah dulu cucumu sekali saja!” ia sodorkan dua buah foto janinnya melalui sela pintu gerbang.

“Ibu tidak mau melihatnya sampai kau melakukan tes DNA!” pintu gerbang kini sudah terkunci oleh Tiffany.

“Aku sudah dengar detak jantungnya! Jantung kami seirama! Aku yakin dia bayiku!” Kwanghee mengucapkannya dengan begitu menggebu-gebu bahkan tanpa jeda. Memang bodoh kalau menyamakan irama jantung dengan kecocokan DNA.

“Diam!” Tiffany menaiki tangga beranda dan memasuki rumahnya kembali.

“Ibu! Aku menikahinya!” nada bicara Kwanghee terdengar masih ada kebimbangan karna pengucapannya yang mengambil sedikit jeda “Kau dengar, kan? Kau dengar?” teriaknya lantang lalu mengamati kedua foto janinnya. Tepat disebelahnya Hyejeong membawa sebuah tas berisi pakaian untuknya lalu menyerahkan sebuah kaos putih untuk Kwanghee kenakan.

.

Jiyeon berjalan lemas keluar kamarnya dengan mengenakan kaso putih tak berlengan serta celana seperempat paha.

“Selamat pagi” Taehee nampak menaruh semanci sup dimeja makan.

“Ibu?” tentu saja Jiyeon bingung dengan sikap Taehee, bukankah semalam ibunya nampak kecewa sekali padanya? Bahkan Jisung juga hanya mampu berdiri bersandar kursi didepan meja makan karna sama bingungnya.

“Ayo kita sarapan. Kau juga duduklah, Sayang” ayah dan anak itu kini saling berpandangan lalu duduk mengisi kursi kosong didepan mereka “Kenapa kalian cuma bengong? Ayo kita makan!” Taehee menaruh mangkuk kosong didepan suami dan anaknya lalu mencicipi supnya dan diikuti pula oleh Jisung.

“Ibu. Kau baik-baik saja?”

“Diamlah, cepat makan” Taehee nampak acuh memakan kimchi-nya, ia bahkan tak mampu menatap wajah Jiyeon. Ia akui memang masih ada kekecewaan namun begitu mendengar pengakuan putrinya semalam mengenai alasan kenapa Jiyeon melakukan sandiwara itu, ia jadi merasa bersalah juga.

“Maafkan aku. Ini semua salahku”

“Tidak apa, jadi berhentilah bicara” Taehee mengunyah kimchi-nya dan menatap putrinya “Seperti yang kau bilang, semua ini salah kami. Kau tidak pernah melihat kami bahagia dari kecil. Kau pasti sangat ingin melihatnya”

“Ibu” Jiyeon merasa bersalah sudah mengaku semalam pada ayahnya.

“Kita bukan orang tua yang baik, sayang” Taehee arahkan ucapannya ini kepada Jisung “Ini semua salah kita” Jisung mengangguk mengerti

“Ibu” sekali lagi Jiyeon hanya bisa menggumamkan kata ‘ibu’.

Taehee mengambil kertas perceraian yang ia simpan sejak lama karna sudah berulang kali ia gagal bercerai dari Jisung. Ini sudah keputusan Taehee, untuk apa mempertahankan hubungan yang malah menyakiti anaknya.

“Jadi, mari kita bercerai”

Hal ini lagi yang selalu ibunya lakukan jika sedang bertengkar dengan ayahnya.

“Kumohon, jangan lagi, Ibu!”

Taehee menempelkan cap tanda tangannya ke dalam kotak tinta lalu mensahkannya ke dalam surat perceraian itu. Ia serahkan kertas itu agar juga ditanda tangani oleh Jisung lalu memasuki kamarnya. Dengan enggan Jisung menerimanya dan dibaca bersama dengan Jiyeon.

Jiyeon menyuarakan penyesalannya tepat didepan kamar Taehee. “Ibu. Ini salahku. Maafkan aku. Jangan seperti ini” tak ada balasan, ia lirik ayahnya yang nampak santai meneguk supnya “Ayah hentikan Ibu” pintanya yang sama diacuhkan juga oleh Jisung.

.

Kwanghee dengan kemeja birunya nampak duduk semeja dengan Minho. Keterkejutan terpampang diwajahnya begitu mendengar pernyataan Minho yang ingin mengundurkan diri dari pekerjaannya.

“Apa? Kau mau berhenti?”

Minho menyilangkan kakinya dan menjawabnya singkat. “Ya”

“Kenapa?”

“Aku ingin cari uang”

“Berarti kau ke sini cuma untuk main-main? Akan kubayar gajimu” seperti biasa cara bicara Kwanghee nampak meremehkan Minho yang hanya bawahannya saja.

“Aku ingin cari uang yang lebih besar”

“Kau kan bias minta kenaikan gaji. Kau butuh berapa?” ntah kenapa Kwanghee merasa tak ingin melepas Minho.

Alasan terbesar Minho keluar dari restoran Kwanghee, karna tabungannya sudah habis dan ia ingin menjauhi Jiyeon. Ia menunduk sekilas dan tak mengubah gaya bicaranya yang nampak dingin. “Aku juga tidak ingin bekerja di dekat..Orang yang membuatku tidak nyaman”

“Orang yang tidak membuatmu nyaman? Siapa?” nampak kerutan dikening Kwanghee dan bola matanya berputar mencari jawaban yang pasti, bahkan para karyawan lainnya termasuk Sunggyu juga penasaran dengan seseorang yang dimaksud Minho itu “Maksudmu… aku?” selidiknya.

Minho tersenyum manis seperti biasanya, senyum yang membuat matanya nampak hanya segaris saja. “Terima kasih untuk semuanya” ia bangkit berdiri tak menghiraukan teriakan Kwanghee yang mencegahnya pergi.

“Jangan pergi. Jangan pergi!” Kwanghee terpaksa mengejar Minho yang hendak menuju meja kasir “Choi Minho, aku sudah memperlakukanmu dengan sangat baik, aku bahkan menganggapmu seperti adik sendiri!” kini ia sudah berada didepan meja kasir tepat dihadapan Minho.

“Ya, aku menghargainya” Minho melepas celemek hitam yang menempel dipinggangnya.

Kwanghee melompat duduk diatas meja kasir. “Bagaimana bisa kau cuma bilang begitu! Bekerjalah sampai aku menemukan penggantimu” sepertinya Kwanghee tak sadar kalau ia tengah memohon agar Minho tak berhenti bekerja. Bahkan Dae Sik mengamati lekat bagaimana bosnya itu mengemis agar Minho mengurungkan niatnya.

“Aku akan ke sini sesekali” Minho selimutkan celemek itu dipaha Kwanghee.

Wajah Kwanghee nampak polos dan seakan masih tak percaya dengan kemauan Minho. “Kau sungguh ingin berhenti?” ia hanya mendapat gelengan tak percaya serta tatapan bingung dari kedua karyawannya dan juga Dae Sik.

Minho menunduk hormat kepada Kwanghee lalu tersenyum pamit kepada rekan kerjanya.

“Hei. Hei, Minho. Jangan pergi! Kau tidak boleh berhenti, karena aku memecatmu! Kau dipecat! You’re Fired…” Kwanghee melompat turun dari meja kasir lalu mengejar Minho sambil menunjuknya dengan telunjuknya.

Namun sayangnya Tiffany malah datang. “Kau sungguh ingin menikahinya?”

“Kita bicara di rumah saja, ibu. Aku pemilik restoran ini, ada pegawaiku disini”

“Kau bukan lagi pemilik restoran ini!”

“Mwo?” mata Kwanghee membulat tak percaya bagaimana bisa restoran yang sudah dibawah namanya ini berpemilik lain selain dirinya nantinya.

“Dan kau juga dipecat!” Tiffany berjalan keluar begitu saja setelah meruntuhkan hati anak semata wayangnya.

.

“Kau dipecat” Jiyeon shock mendengar ucapan managernya tersebut “Aku tidak punya pilihan. Kau harusnya melayani pelanggan, tapi kau malah bertengkar dan menjambak rambutnya” ada sedikit keenganan dalam ucapana manager tersebut “Kau seharusnya tidak boleh begitu”

“Saya cuma sekali saja melakukannya dan anda mau memecat saya begitu saja. Padahal saya sudah bekerja disini lebih dari 5 tahun?!”

“Masalahnya semua atasan melihatmu”

“Tapi… saya sudah…bekerja sangat keras” sudah jatuh tertimpa tangga begitulah kata yang pantas untuk Jiyeon kali ini.

“Kau tidak punya sikap pekerja yang baik. Kau sering bolos untuk alasan pribadi, kau juga selalu mendapat pengunjung. Maafkan aku keputusannya sudah bulat” manager yang ia junjung itu dengan tegasnya menolak pembelaan Jiyeon lalu bergegas melanjutkan pekerjaannya.

Jiyeon berjalan lemas menuju counter tas yang sering ia jaga. Disana ada sebuah keributan yang berasal dari seorang pria bersuara centil, Kwanghee. Dari gaya ucapannya jelas sekali kalau pria itu akan mengajak semua karyawan teman Hyejeong untuk merayakan kebersamaannya dengan Hyejeong.

Melihat kesedihan diwajah Jiyeon, tergugah keinginan Kwanghee untuk berbicara empat mata dengan matan kekasihnya tersebut. Ia mengajak Jiyeon menuju taman favorite mereka dan berbincang mengenai permasalahan satu sama lain.

“Chukkae, akhirnya eomma-mu menerima Hyejeong juga” suara dan ekspresi wajah Jiyeon tak mencermin tata krama dalam mengucapkan selamat.

“Yaaa, wajah apa ini. Kenapa wajahmu kelihatan sangat sedih begini?” cubitan pelan Kwanghee dipipi Jiyeon sama sekali tak merubah ekspresi wajah Jiyeon “Apa kau belum mendengarnya dari Myungsoo?”

Seulas keingintahuan terpampang penuh semangat diwajah Jiyeon “Tentang apa? Arghh hubungan kami, kau baru mengetahuinya kalau kami sudah berpisah?” tebaknya.

“Lalu, apa yang sebenarnya terjadi?”

“Tentu saja semuanya hancur berantakan” Jiyeon mnarik nafas panjang dan mencoba mengulas senyum “Aku terbebas dari pria menyebalkan itu” tanpa ia sadari sebulir air mata menetes dipipinya.

“Tapi, kenapa kau menangis? Bukankah kau masih punya Minho?”

Sekuat apapun JIyeon mencoba membohongi dirinya semuanya akan percuma “Myungsoo, dia pasti sedang menangis sekarang” lirihnya.

“Dia tulus menyukaimu” sebenarnya Kwanghee sudah berjanji pada Myungso bahwa ia tak akan membeberkan rahasia hati Myungsoo kepada Jiyeon. Tapi melihat dua orang yang ia sayangi sehancur ini, ia jadi merasa tidak tega.

“Mwo?” mana mungkin Myungsoo menyukai Jiyeon, bukankah selama ini mereka hanya sebatas bersandiwara?

“Dia melarangku memberitahunya padamu. Tapi kau tahu kan kalau mulutku ini tak bisa dijaga” ujar Kwanghee bangga telah mengumbar rahasia Myungsoo.

“Tidak mungkin. Bagaimana mungkin dia menyukai kalau selalu memperlakukanku sekejam itu?” tolak Jiyeon.

“Dia memang suka menyiksa wanita yang dia suka. Karena dia memang ingin bersamamu dan bermain denganmu” sahabatnya itu memang sulit mengutarakan perasaannya dan kebanyakan selalu berakhir salah tingkah yang menjurus menyakiti wanita yang dia cintai.

“Benarkah Myungsoo menyukaiku?” kali ini tangisan Jiyeon terdengar seperti rengekan anak kecil.

“Kenapa kau menangis lagi?”

“Kau seharusnya tidak usah memberitahuku!” tangan Jiyeon menarik kerah jas Kwanghee dan mendorongnya kesal “Jika aku tidak tahu, aku bisa melupakan dia dengan mudah!”

“Kau…Benar-benar menyukai Myungsoo?” Jiyeon melonggarkan cengkramannya “Lalu, apa masalahnya? Jika kau dan dia saling tulus mencintai hah?” tanya balik Kwanghee.

“Semuanya sudah terlambat” Jiyeon menendang-nendang kakinyake angin yang bebas “Ibunya sudah melihat sesuatu yang tidak seharusnya tidak dia lihat. Aku tidak boleh membuat hubungan Myungsoo dan ibunya semakin buruk” sesalnya.

“Tapi jika kalian berdua tulus menyukai…”

“Andwae” teriak Jiyeon kekeh, kali ini ia harus mengorbankan perasaannya demi kebaikan semua orang “Jebal, jangan pernah bilang padanya tentang perasaanku” Jiyeon kembali menarik tangan Kwangheedan mendekapnya “Aku harus melupakannya sebelum semua ini semakin rumit. Inilah yang terbaik untuk semuanya”

“Aishh, semuanya rumit sekali sekarang. Bahkan Minho juga sudah berhenti bekerja” masih sangat sulit bagi Kwanghee melepas Minho, karyawan yang sepertinya sudah ia anggap sebagai teman.

“Dia berhenti?”

“Eoh, dia butuh uang banyak. Jincha aku sungguh khawatir pada Myungsoo dan Minho, begitupula kau Jiyeon-a”

“Jangan khawatir pada orang lain. Khawatirkanlah Hyejeong sekarang”

“Hidup kita sungguh menyedihkan” Kwanghee merebahkan kepalanya dipundak Jiyeon “Aku ingin kau hidup bahagia Jiyeon-a”

“Mwo? Jangan bilang kau tidak bahagia menikah dengan Hyejeong?” Jiyeon menoyor kepala Kwanghee kesal, bagaimana bisa mantan kekasihnya in belum jera juga mempermainkan wanita. Apalagi Hyejeong itu sahabatnya dan dia juga sudah mengandung janin Kwanghee.

“Ibuku…Ingin memutuskan hubungan denganku” wajah Kwanghee nampak tertekuk kusut. Tentu saja ia bahagia menikah dengan Hyejeong dan menjadi seorang ayah, tapi Tiffany merupakan kerikil besar yang menghalangi kebahagiaannya.

“Mwo?”

“Aku belum cerita pada Hyejeong. Aku dipecat dari restoran, restoran itu bukan milikku lagi” jika Hyejeong tahu kalau Kwanghee dipecat, mungkin wanita itu akan sangat terguncang.

“Nado, aku juga dipecat hari ini”

“Bagaimana bisa managermu itu begitu…”

“Setidaknya kau punya bahu untuk menangis sekarang Kwanghee-a” Jiyeon kembali merengek sedih, lalu menepuk bahu Kwanghee.

“Ibuku tidak akan datang ke pesta pernikahanku” keluh Kwanghee.

“Nado, Ibuku juga akan bercerai”

Kwanghee menoleh kepada Jiyeon dan menepuk bahu Jiyeon dengan kencang “Kenapa hidupmu menyedihkan sekali? Kau harusnya bahagia!” teriaknya

Begitu pula Jiyeon, ia berbalik dan menepuk kencang punggung Kwanghee “Tidak, kau harusnya juga bahagia dan bersyukur karna kau akan segera jadi ayah!” Kwanghee menutupi telinganya dan merengek sedih sama seperti Jiyeon “Tapi, kenapa kau malah menangis?”

“Aku seorang ayah!” Kwanghee memeluk Jiyeon erat.

“Aku terus menangis karena kau menangis!” dan Jiyeon membalas hangat pelukan Kwanghee.

.

Myungsoo berkali-kali menghubungi Jiyeon, namun wanita itu selalu mengacuhkan panggilannya.

“Jiyeon-a, kau sungguh tidak mau menjawab teleponku?” ia lempar iphonenya ke meja dihadapannya.

Myungsoo berdiri didepan pintu apartmentnya dan menemukan Jiyeon terduduk berjongkok disana. Senyum merekah mewarnai wajah tampannya, namun ia sembunyikan karna ia masih gengsi berterus terang kepada Jiyeon.

“Kau tidak mengangkat telepon, kau menarik ulur aku! Dan kau malah menunggu di depan rumahku?” ada yang aneh dengan sikap Jiyeon, tak biasanya dia sependiam ini didepan Myungsoo “Tapi kenapa kau di sini? Biasanya kau menerobos masuk kapan saja ke rumahku” tak ada tanggapan, Myungsoo mengulurkan tangannya “Ayo masuk” ajaknya.

“Kita tidak boleh lagi lakukan ini. Tidak ada lagi alasan aku bagiku” Myungsoo menarik kembali tangannya, ucapan Jiyeon seolah sebuah penolakan baginya “Kita seharusnya, tidak memulai ini dari awal. Seharusnya aku tidak kelewatan batas, padahal kau sudah memperingatiku dulu. Seharusnya aku meninggalkanmu sendiri, saat kau bilang ingin sendiri” ia angkat dagunya menatap lurus wajah Myungsoo yang nampak terpukul “Jika aku bisa memutar waktu, aku tidak akan ikut skenario ini. Aku sangat menyesal” ucap Jiyeon panjang lebar.

“Aku tidak menyesal”

“Kau tidak menyesal, walau sudah menyakiti orang tua kita?”

“Aku tidak peduli pada mereka…” sanggah Myungsoo tegas.

“Kau tidak peduli?” sungguh Jiyeon tidak percaya jika Myungsoo masih saja bersikap egois dan kekanak-kanakan.

“Park Jiyeon..” Myungsoo menelan salivanya untuk menghilangkan kegugupannya “Sebenarnya, aku… Menyukai…” ucapnya terbata-bata.

“Kau memang orang jahat! Bagaimana bisa kau hanya memikirkan dirimu sendiri di situasi begini? Kau tidak tahu betapa terlukanya ibumu? Dia selalu terluka selama ini… Karena suaminya tidak setia. Dan dia ada di sana, dia melihatku… Berpelukan dengan Minho” mata Jiyeon berkaca-kaca mengucapkan segala kesalahannya tersebut “Kau mengerti sekarang kesalahan apa yang telah kita lakukan?” lanjutnya.

Myungsoo hendak merangkul bahu Jiyeon dan membawanya memasuki apartmentnya “Kita bicara di dalam saja” ajaknya.

Jiyeon menghempas tangan Myungsoo “Kau kan ingin… selalu sendirian dirumahmu. Sekarang keinginanmu jadi kenyataan”

“Park Jiyeon!”

“Semua ini sudah berakhir sekarang, termasuk datang ke rumahmu… Dan juga bertemu denganmu!” Jiyeon menyibak poninya dan berjalan menjauh dari apartment Myungsoo.

.

“Keluar kau!” Taehee melempar magiccom kelantai, disekitanya benda-benda berserakan tak beraturan, begitu pula meja dan kursi yang saling terbalik.

“Beraninya kau begini padaku? Ini rumahku!” gertak Jisung kesal.

“Kau bisa miliki restoran yang kau cintai itu. Aku ingin miliki rumah ini!” tegas Taehee.

“Mwo? Kau pikir aku suka menggoreng ayam seumur hidupku bahkan sampai semua tulangku patah hah?”

“Jika tulangmu patah, berarti tulangku meleleh!”

“Apa yang kalian lakukan?” Jiyeon sungguh shock melihat keadaan rumahnya dan juga kedua orangtuanya yang bertengkar hebat

“Rumah dan restoran, semuanya milikku!” ujar Jisung kekeh, karna memang semuanya miliknya.

“Appa”

“Baiklah! Tuntut cerai saja aku! Kau akan bangkrut, setelah aku menyedot semua tunjangan perceraian!” ancam Taehee seraya berjalan menuju kamarnya.

“Geurae”

“Appa”

“Sampai jumpa di pengadilan!” Taehee menarik koper kecilnya dan hendak keluar dari rumah itu.

“Eooma, Kau mau kemana?” Jiyeon menarik koper itu untuk mencegah kepergian Taehee.

“Rumah bibimu!”

“Tinggalkan tas itu! Tas itu dibeli dengan uangku!” bentak Jisung, selalu seperti ini jika ia dan Taehee bertengkar hebat.

“Appa, halangi Ibu pergi!” tenaga Taehee lebih kuat, ibunya sudah keluar dari rumah mereka.

“Sementara ini Appa akan tinggal di restoran” Jisung mengekor dibelakang Taehee untuk keluar dari rumah.

“Appa” usahanya mencegah Jisung juga percuma, ia kini sendirian dirumah ini sama seperti belasan tahun lalu. Myungsoo, ia selalu mencari Myungsoo ketika dalam kesendirian seperti ini. Namun kali ini ia tak akan mengganggu Myungsoo lagi, sandiwaranya sudah berakhir.

.

“Rumah terasa kosong” keluh nenek Kim, ia memang sengaja menyindir hal ini didepan anak dan menantunya.

“Benar. Rasanya membosankan” sanggah bibi Han.

“Terasa menyenangkan dan damai” Minyoung menuang teh ke dalam cangkirnya.

“Aku penasaran dengan kehidupan Myungsoo” ujar nenek Kim

“Pasti sama seperti biasa. Rumah, klinik, rumah, klinik” jelas bibi Han.

“Semuanya kembali seperti dulu” seperti biasa Minyoung mampu menyembunyikan kesedihannya dan memampang wajah dinginnya.

Bibi Han menatap kakaknya yang termenung “Ommo… Kau pasti juga mulai menyukai Jiyeon” Jaejoong masih stuck dengan posisinya yang menopang dagu “Oppa!” pekik bibi Han.

“Ne?”

“Apa yang kau pikirkan?” selidik bibi Han.

“Apa rumor telah menyebar…Tentang insiden di departemen store itu?” sungguh Jaejoong sangatlah kejam, bagaimana bisa ia memikirkan permasalahannya sendiri dengan wanita penggoda itu daripada masalah putra kandungnya sendiri.

Nenek sungguh geram dengan putranya yang sungguh tak tahu malu, ia bangkit berdiri pergi dari ruang tamu itu dan begitu juga bibi Han.

“Apa aku berkata sesuatu yang salah?” tanya Jaejoong bingung

“Tidurlah di rumah sekarang”

“Kau bilang apa?” ulang Jaejoong tak percaya.

“Kau bilang kau takut rumor itu. Jadi, jangan pergi ke rumah wanita itu sampai semuanya tenang” jelas Minyoung, ia bergegas kembali kedapur membawa cangkir kotor dimeja tamu itu.

.

Myungsoo mengitari ruangan apartmentnya yang terasa sepi, ia sungguh merindukan keberadaan Jiyeon yang penuh warna. Tiba-tiba ia seperti mendengar suara kode pintu terbuka bahkan ia sampai berkhayal jika Jiyeon membantunya mengusap akurium nemo kesayangannya serta menemaninya makan ramen. Namun begitu ia menyentuh Jiyeon, halusinasinya itu menghilang diterpa angin.

“Rumah ini sungguh sangat kosong”

Ia sambar kunci mobilnya dan mengendarainya menuju jimjilbang tempat Kwanghee menginap beberapa hari ini.

“Ada apa denganmu? Kau yakin bisa tidur di sini?” Kwanghee mengamati keanehan diwajah Myungsoo

Myungsoo nampak tak percaya jika sahabatnya itu bisa tidur diruang besar yang dipenuhi banyak orang dan berbagi lantai yang sama pula, apa ia juga bisa? “Bagaimana denganmu? Kau diusir lagi?”

“Jebal, jangan bilang pada Hyejeong”

“Kau mau apa sekarang?”

“Dengan uang yang ku sembunyikan dari Ibuku, aku telah membeli rumah. Kami akan pindah setelah menikah” Kwanghee mengeratkab handuk yang melilit dikepalanya dan mengusap keringat karna mandi uap diruangan itu.

“Kau sudah dewasa sekarang” puji Myungsoo.

“Aku masih jauh dari dewasa. Sekarang aku malah punya banyak hutang. Aku harus bagaimana?” keluh Kwanghee

“Kau ingin jadi tukang bersih di klinikku?” saran Myungsoo bercanda.

“Lebih baik aku mati!” Kwanghee menoleh kesal “Keundae, kau akan datang ke pernikahanku, kan?” tanyanya

“Apa Jiyeon juga datang?” Myungsoo sangat merindukan Jiyeon dan jika Jiyeon datang maka ia bisa melepas rindunya meski hanya melihatnya saja.

“Jiyeon? Tentu saja. Dia orang yang mempertemukan aku dengan Hyejeong” angguk Kwanghee.

“Benarkah? Berarti aku tidak usah pergi”

“Wae?” bukankah seharusnya Myungsoo senang dan datang ke pernikahan Kwanghee? “Kau masih belum bisa melupakannya?”

“Anniya, Aku hanya tidak ingin berurusan lagi dengannya” dusta Myungsoo.

“Benarkah?”

.

Hyejeong menunjukkan foto USGnya kepada Jiyeon “Dia sangat lucu.Dia seperti jelly kecil yang akan berubah jadi manusia” puji Jiyeon.

“Terima kasih telah menemaniku, eonni” Hyejeong mengeluarkan sebuah amlop undangan “Igeo, kau akan datang ke pernikahanku, kan?” tanyanya

Jiyeon membaca letak pesta pernikaha itu diadakan “Daebak. Pernikahan kalian di Sungai Han?”

“Ne. Ada pesta sampanye siang hari juga eonnie”

“Kedengarannya menyenangkan, kan? Apa yang orang tuamu katakan? Apa mereka akan dating ke pernikahanmu?” selidik Jiyeon, pasti sangat berat bagi Hyejeong karna Tiffany menolak pernikahannya dengan Kwanghee.

“Jangan khawatir padaku. Kau harus datang nanti eonnie” ujar Hyejeong riang.

“Keundae, Apa Myungsoo juga datang?”

.

Jiyeon nampak ragu untuk memasuki kawasan open party di sungai Han ini.ia takut dan akan sangat canggung jika bertemu dengan Myungsoo.

“Aku akan datang sebentar untuk menyapa” ia langkahkan kakinya memasuki sebuah pagar berhiaskan bunga mawar putih yang didepannya terpampang foto besar Kwanghee dan Hyejeong. “Tidak. Aku tidak cukup berani berhadapan dengannya.Tapi ini kan pernikahan Hyejeong” ia langkahkan lagi kakinya menapaki pembatas agar itu “Aku akan langsung pergi, setelah menemuinya. Tapi, aku pasti akan bertemu Myungsoo dan dia akan semakin terluka” gumamnya.

“Kalau mau masuk, masuk saja, jika tidak, pergi sana” ibu Hyejeong menarik tangan Jiyeon agar memasuki kawasan party itu.

“Chakkaman eommonim” Jiyeon mencoba melepas tarikan tangan tersebut.

“Ayo kita kesana bersama. Kau kan temannya Hyejeong” ujar ibunya Hyejeong.

Soojung berjalan menghampiri Myungsoo yang dari tadi celingukan mencari keberadaan Jiyeon. “Siapa yang ada di sini? Kita bertemu lagi” sapanya.

Myungsoo mengacuhkan Soojung dan berbalik hingga pandangan matanya menangkap sosok Jiyeon yang mengenakan gaun hitam selutut. Mereka saling diam dengan jarak 3 meter, Myungsoo hendak menghampirinya namun ditengah mereka dua pasangan pengantin itu memulai perjalanan mereka menuju altar.

“Baiklah, ini dia pengantin pria dan wanitanya hari ini” Sunggyu selaku MC party itu mengumumkanya dengan tegas “Kita sambut dengan meriah pengantin kita!” semua tamu yang hadir saling bertepuk tangan begitu pengantin itu sampai didepan altar “Selanjutnya, acara pemotongan kue” Kwanghee dan Hyejeong memotong kue raksasa itu dengan rianganya “Sekarang karena pertukaran cincinnya sudah dilakukan. Jadi… Saatnya ciuman” ujar Sunggyu.

Kwanghee nampak malu dan hanya mengecup kening Hyejeong namun Hyejeong dengan beraninay menarik Kwanghee dan mengecup bibir suaminya itu.

“Sekarang saatnya pemberian salam dari kedua pihak mempelai” mengingat atasannya tidak hadir ke party ini “Kita lewati saja itu,Karena keterbatasan waktu” ujar Sunggyu.

“Chakkaman,Ibunya sudah datang” teriak Jiyeon begitu melihat Tiffany hendak berbalik pulang setelah melihat Kwanghee.

“Eomma” seperti anak usia 5 tahun Kwanghee berlari dan memeluk Tiffany dengan riang.

“Aku cuma…” Sungguh memalukan bagi Tiffany karna kehadirannya diketahui oleh anaknya.

“Terima kasih telah datang, eommonim. Hyejeong menunduk hormat memberi salam.

“Dasar brengsek!” Tiffany terharu dan memukul punggung Kwanghee “Hiduplah dengan bahagia. Jika kau mengomeli Kwanghee, aku akan…” ancamnya pada Hyejeong.

“Kau di sini. Aku senang kau datang. Ayo kita minum” Tiffany tak mampu menolak ajakan besannya itu dan hanya mengekor setuju.

Jiyeon merasa lega dengan kebahagiaan Hyejeong dipernikahannya tersebut. Ia berjalan santai hendak pulang dari party tersebut.

“Park Jiyeon, maukah kau minum denganku?” tawar Soojung.

“Ne?”

“Jangan benci padaku begitu. Kaulah yang merusak semuanya, bukan aku. Aku sudah kenal Myungsoo

berpuluh tahun lamanya. Aku sudah sering sekali makanan bersamanya dan bicara banyak hal dengannya” ucapan Soojung terdengar merenehkan sekali “Kau tidak tahu masa lalunya. Aku selalu bersamanya sejak dulu. Dan aku terlalu memaksa dirinya. Saat aku minta dia menikah denganku, dia bilang oke. Saat aku ingin kami berpisah, dia juga bilang oke. Aku menginginkannya, tapi aku tahu aku tidak bisa membuatnya menurut terus” ia tertawa pelan “Itu sebabnya aku ingin punya anak sepertinya. Aku akan menyingkir darinya sekarang. Aku…” demi kebahagian Myungsoo, ia kali ini akan mengalah “…Belum pernah membuka hatiku pada siapapun. Tapi aku sadar… Aku tidak bisa memaksa orang memiliki perasaaan yang tidak mereka punya. Jiyeon termenung dengan penjelasan Soojung “Kau bilang ketulusan pasti bisa di mengerti orang. Tapi, kenapa ketulusan hatiku tidak bisa dipahaminya?” lanjut Soojung.

“Sebenarnya, semua orang tidak tahu arti ketulusan. Kita ingin bahagia dan dicintai. Semua orang pasti ingin tulus mendapatkannya. Karena semuanya ingin begitu, jadi tulus itu sangat sulit diwujudkan”

“Majayo, aku tak bisa setulus kau pada Myungsoo” Soojung menghela nafas sejenak “Berbahagialah dengannya, dia lebih memilihmu yang baru daripada aku sudah lama bersamanya” ucapnya seraya berbalik pergi, tepat dihadapannya yang lumayan sedikit jauh, Myungsoo menatapnya dengan pancaran kerinduan, bukan ia tapi Jiyeon. Ia paksakan sebuah senyuman dan melangkah menghampiri Myungsoo. Tak ada kata yang sanggup ia ucapkan, tangisan tertahannya serasa membekukan lidahnya, hanya sebuah tepukan dibahu tegap itu sebagai kode bahwa ia merelakan Myungsoo pergi darinya dan menjadi milik Jiyeon.

Kaki jenjang Myungsoo melangkah mendekat hingga ia berjarak cukup dekat dengan Jiyeon. Kali ini tak akan ada Kwanghee dan Hyejeong yang mengganggunya

“Jiyeon-a, nan….” ia merindukan Jiyeon dan ingin menjalin hubungan lagi, hubungan yang sebenarnya, itu yang ingin ia katakan.

“Nan…” haruskah Jiyeon mengakui perasaannya? Tapi bagaimana jika ini hanya akan membuat Myungsoo semakin terluka? Bagaimana jika Myungsoo malah menertawakannya? “aku tidak ingin bersamamu.. ketika aku bersamamu aku menjadi orang lain. Meskipun aku miskin, aku sama sekali tidak pernah malu dengan keadaanku. Tapi.. ketika bersamamu aku merasa malu dan aku membencinya” jelas Jiyeon, ntah mengapa ia kembali menangis jika berhadapan dengan Myungsoo.

“Kau kira hanya kau saja hah? Aku juga merasakannya sama sepertimu. Aku tidak pernah goyah dengan keputusanku sendiri. Tapi kau membuatku goyah, aku benci diriku karnamu. Keundae… aku masih ingin bersamamu” begitulah perasaan Myungsoo selama ini.

“Andwaeyo, semuanya sudah berakhir” semuanya sudah berakhir dan akan sangat sulit membuat kedua orangtuanya maupun orangtua Myungsoo mempercayai mereka dan menerima mereka lagi.

“Sandiwara itu sudah berakhir. Mari kita mulai lagi semuanya” Myungsoo sungguh ingin memeluk erat tubuh mungil yang sangat ia rindukan itu dan begitu pula Jiyeon tangannya melingkar dipunggung Myungsoo tanpa ia pinta. Myungsoo membelai wajah Jiyeon dan menyalurkan kerinduannya melalui bibirnya yang saling berpautan dengan bibir berlipglos merah muda itu.

ENDed or continue?

10 responses

  1. Baiq Yulia Astriani

    jadi bisakah mreka bersama kembali? daaannnn ortu masing2 merestui????

    April 17, 2015 at 11:44 am

  2. miss deer

    kasihan jiyiiii ortunya mau cerai,,,
    tenang jiy, skrg udh ada myung di sisi-mu,

    April 18, 2015 at 9:51 am

  3. dian

    Semoga hubungan mereka bisa direstuin sama kedua ortu masing2

    April 26, 2015 at 5:45 pm

  4. Myungie

    continueeeee
    suka deh liat myungyeon disini haha

    May 30, 2015 at 3:42 pm

  5. IndhaJL

    yahh rumit juga masalh mreka jngn end dlu sblum myungyeon dan orngtua mreka bersatu dan mrestui myungyeon sampi mreka nikh dan pnya anak

    aku reader baru salm knal!! aku bkln coments trus sampe mreka pnya ank dan bahagia trus END!!

    June 3, 2015 at 2:28 pm

  6. indaah

    eehh taehee mau cerai ? kirain dia mau menata kehidupan rumah tangga nya jd baik lg , kasian jiyeon dia dtinggal sendiri llagi ..
    huft ini end nya kah? andwae .. pengen liat lqnjutan perjuangan myungyeon lg thor ..
    mudah2an masih tbc ,, fighting

    October 14, 2015 at 5:36 pm

  7. End apa blum ceritanya masih gantung..
    Aku penasrn sm bagian kimchi buatan minho sm dngn buatan ibunya myung aku pikr bkl ada cerita d antara mrk
    Kalo ternyata ibu yg ninggalin minho itu ibunya myung ternyata g ada yah

    June 17, 2016 at 6:26 am

Leave a reply to IndhaJL Cancel reply